Oleh:
Fr. Ican Pryatno
Sejak peringatan Rabu Abu, 22 Februari 2023, hingga pekan ini, Gereja Katolik memasuki masa Pra-Paskah. Sebagai sebuah momentum penting, Pra-Paskah dirayakan oleh umat Kristiani sebagai sebuah ‘lanskap awal’ menjelang perayaan akbar ‘Hari Raya Paskah’. Lantas, apa sesungguhnya Pra-Paskah? Apa relevansi Pra-Paskah di tengah situasi krisis kebenaran ataupun kedigdayaan politik pasca-fakta?
Pra-Paskah, Tobat, dan Perayaan Kebenaran
Dalam tradisi gereja Katolik, Pra-Paskah diamini sebagai sebuah masa persiapan menjelang Paskah. Hal ini pun secara mentereng ditegaskan dalam dokumen Gereja tentang ‘Perayaan Paskah dan Persiapannya’ (1988) yang berbunyi demikian: “Masa Prapaskah tahunan adalah masa rahmat, karena kita mendaki Gunung Suci Hari Raya Paskah“ (art. 1). Sehingga, demikianlah bahwa Pra-Paskah adalah sebuah ‘pintu masuk’ sebelum gereja merayakan misteri agung kebangkitan Tuhan sewaktu Paskah. Ia adalah masa awal sebelum umat Allah diarak menuju kemenangan Paskah.
Selain berpantang dan berpuasa, dalam mengisi masa Pra-Paskah ini, gereja Katolik menghendaki agar umat Allah mesti menerima Sakramen Tobat. Sehingga demikianlah dalam dokumen tersebut tertulis demikian: ”Kaum beriman haruslah diingatkan untuk lebih rajin dan dengan manfaat lebih besar mengambil bagian dalam ibadat Masa Prapaskah dan perayaan tobat. Mereka terutama hendaknya diundang, sesuai dengan peraturan dan tradisi Gereja, untuk menerima sakramen tobat di masa ini, agar mereka dapat ikut merayakan misteri Paskah dengan hati murni” (art. 18). Sehingga, inilah kekhasan Pra-Paskah tatkala selain berpantang dan berpuasa, umat Allah juga diarahkan untuk ‘bertobat’.
Lantas, mengapa gereja Katolik menghendaki pertobatan di masa Pra-Paskah? Sebagaimana ditegaskan Paus Fransiskus (2023), gereja menghendaki pertobatan sebab pertobatan Prapaskah adalah sebuah komitmen, yang ditopang oleh rahmat, untuk mengatasi lemahnya iman. Ia adalah kesempatan untuk menyucikan hati, sehingga dengan itu, umat Allah dapat menyonsong dan merayakan kebenaran akan kebangkitan Tuhan pada waktu Paskah. Sehingga, demikianlah Lumen Gentium menegaskan bahwa mereka yang telah menerima rahmat pertobatan memperoleh pengampunan dari Allah dan dengan itu mereka didamaikan dengan gereja (bdk. art. 11). Demikian pula, umat Allah yang menerima rahmat pertobatan sewaktu Pra-Paskah akan dilayakkan untuk menghadap Allah dan menerima pemakluman tentang kebenaran akan Kemahakuasaan Tuhan pada waktu Paskah.
Karena itu, ini adalah esensi Pra-Paskah yang sesungguhnya, tatkala umat Allah menerima rahmat Pertobatan sebagai bagian dari penyucian diri agar mereka layak menerima dan merayakan kebenaran Paskah kelak. Pertobatan semasa Pra-Paskah adalah bagian dari pemurnian diri supaya dengan itu manusia mampu menyongsong kebenaran tentang Kebangkitan Paskah.
Politik Pasca-Fakta dan Darurat Kebenaran
Di tengah antusiasime menyongsong Kebenaran Paskah, saat ini dunia justru dilanda krisis kebenaran. Dalam diskursus di ruang publik krisis kebenaran ini ditematisasi dengan istilah pasca-kebenaran. Dalam beberapa tahun terakhir istilah tersebut semakin popular dikalangan masyarakat, sebab hal ini berangkat dari fenomena persoalan politik keterpilihan Donal Trump dalam kontestasi AS 2016 ataupun perkara Ahok dalam konstestasi Pilkada DKI Jakarta 2017.
Atas dasar demikian, Oxford Dictionaries mengartikan pasca-kebenaran sebagai suatu keadaan di mana fakta objektif dipelintir dan dikalahkan oleh kekuatan emosional dan kepercayaan pribadi. Di sana terjadi produksi hoaks, yang dibarengi dengan daya tarik emosi dan perasaan. Sehingga akibatnya ia memantik amarah, membakar gejolak massa, hingga berujung lunturnya kultur demokratis.
Karena itu, dapat dipahami bahwa politik pasca-kebenaran merupakan politik palsu atau politik pasca fakta, di mana perdebatan publik dibingkai oleh daya tarik pada emosi dan perasaan masyarakat, terlepas dari fakta atau maksud politik yang sebenarnya (MansfordPrior, Epilog dalam Madung, 166: 2017). Opini publik dan narasi politik dibuat dengan sangat pragmatis. Walaupun menjarak dari kebenaran; sensasi dan pernyataan palsu terus diumbar dengan tujuan meyakinkan kelompok rakyat.
Sehingga dalam bingkai pasca-kebenaran, problem kebohongan menjadi bagian integral. Di sana kebohongan selalu dirayakan, sementara kebenaran diabaikan. Demikian, dalam kondisi tersebut, menyitir George Orwell, kebohongan banyak menghiasi propaganda politik, sedangkan kebenaran tertinggal jauh dari harapan publik (Tan, 2018: 135).
Gawatnya, hal ini diperparah tatkala dalam politik pasca-fakta orang menyingkirkan khasiat akal sehat. Orang enggan mengedepankan rasionalitas, sehingga mereka dengan mudah mempretelisasi informasi. Dalam keadaan minus nalar semacam ini, orang gemar menaburkan fitnah dan prasangka. Demikian, tanpa lekas merenung dan berpikir tentang ‘risiko’, orang gampang mengonstruksi sebuah kebenaran palsu. Sehingga tepatlah demikian bahwa ‘kejatuhan’ selalu bermula dari ketiadaan berpikir. Demikian, aneka perkara dalam politik pasca-fakta selalu berangkat dari keadaan minus nalar.
Pra-Paskah: Panggilan untuk Merayakan Kebenaran
Lantas, apa relevansi Pra-Paskah di tengah situasi politik pasca-fakta atau krisis kebenaran saat ini? Pertama, Pra-Paskah adalah momentum awal sebelum memasuki ruang kebenaran akan kebangkitan Mesias pada waktu Paskah. Itu berarti di sana orang mulai berkiblat pada kebenaran. Demikian, di sana termuat selebrasi kebenaran. Karena itu, di tengah krisis kebenaran saat ini, Pra-Paskah menginspirasi kita untuk kembali ‘mengabdi kepada kebenaran’. Pra-Paskah adalah undangan agar masing-masing kita kembali mengedepankan kebenaran dalam hidup. Kalaupun selama ini kita menjadi aktor penyebar kebohongan, maka Pra-Paskah adalah sebuah ajakan untuk kita menyebarkan kebenaran. Demikian, kalaupun belakangan ini kita kerap mempretelisasi informasi: menyebarkan fitnah ataupun hoaks, maka Pra-Paskah adalah kesempatan untuk kita menjadi pembawa informasi yang jernih dan objektif.
Kedua, pertobatan Pra-Paskah juga menginpirasi kita bahwa untuk menjadi pembawa kebenaran kita mesti berkomitmen dengan sungguh. Tanpa sadar kita memang tergoda untuk memproduksi kebohongan, walaupun demikian pertobatan Pra-Paskah adalah jalan peneguhan untuk kita menyadari bahwa panggilan untuk menyebarkan kebenaran mesti dibarengi dengan pemantapan diri. Karena itu, mari melampaui situasi politik Pasca-Fakta. Kini Pra-Paskah menginspirasi kita untuk berpaling kepada kebenaran, sembari memantapkan kesungguhan.