Misteri Wahyu: Bagaimana Menemukan Allah dalam Hidup?

advanced divider

Oleh:

Fr. Ican Pryatno

Dalam setiap PE, doa, ataupun pelbagai ritus liturgis Katolik, kita seringkali mendengarkan kata Wahyu atau karya pewahyuan Katolik (bdk. Wahyu 1:1). Namun, apakah sesungguhnya Wahyu itu? Apakah melalui Wahyu kita sanggup mengenal, menemukan, dan bahkan menjumpai Allah? Bagaimana posisi iman di hadapan Wahyu?

Wahyu dalam Lanskap Pengertian?

Kata Wahyu, secara etimologis berasal dari bahasa Latin, revelarae dan bahasa Inggris, revelation, yang berarti penyingkapan atau penglihatan sesuatu yang tersembunyi. Dalam teologi Katolik, Wahyu selalu identik dengan penyingkapan diri Allah. Itu berarti Wahyu amat berpaut dengan pemakluman identitas Allah yang dinyatakan kepada manusia melalui tanda-tanda ataupun peristiwa iman tertentu. Maka, dalam Konstitusi Dogmatis Dei Verbum (Wahyu Allah) ditegaskan demikian:

“Dalam kebaikan dan kebijaksaan-Nya, Allah berkenan mewahyukan diri-nya dan memaklumkan rahasia kehendak-nya (lih. Ef. 1:9); berkat rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat Ilahi”.

Sehingga, dengan itu dapat ditegaskan bahwa Wahyu dalam gereja Katolik identik dengan kesediaan Allah untuk menunjukkan diriNya: menyatakan diriNya sebagai Yang Tertinggi (Tuhan yang Transendetal) kepada umatNya. Lantas, mengapa Wahyu diamini sebagai hal yang penting dalam gereja Katolik? Atau mengapa mesti ada Wahyu? Sekurang-kurangnya terdapat dua alasan ‘mengapa Wahyu mesti ada”?

Pertama, karena melalui Wahyu, Allah mau menunjukkan kebenaran-kebenaran diriNya. Sebagaimana ditegaskan dalam Dei Verbum art. 6, melalui Wahyu Allah hendak memperlihatkan, menampakan, dan membuka diriNya sendiri serta keputusan kehendakNya kepada manusia, yakni untuk mengikutsertakan manusia dalam harta-harta Ilahi, yang sama sekali melampaui daya tangkap akal budi insani. Itu berarti melalui Wahyu Allah mau menunjukkan siapa diriNya. Demikian pula melalui Wahyu Allah mau memperlihatkan tentang identitas KeAllahanNya, sebagai Tuhan yang Maha Rahim dan Maha Agung.

Lantas, apa risiko yang terjadi tatkala Allah mau menunjukkan kebenaran-kebenaraan diriNya? Apa akibat dari peristiwa iman demikian? Sesungguhnya melalui peristiwa tersebut manusia pun memiliki pengetahuan yang cukup tentang Allah. Melalui karya penyingkapan diri Allah, manusia  menjadi tahu tentang identitas Tuhan yang diimani.  Singkatnya, manusia pun memperoleh pengertian tentang iman yang tumbuh dan berkembang dalam dirinya.

Hal ini seyogianya dapat dilihat dalam kepenuhan wahyu Yesus Kristus.  Dalam seluruh karya pewartaanNya, Yesus Kristus menampakkan rencana dan kehendak untuk menyelamatkan manusia. Ia datang untuk menyatakan kerajaan Allah. Demikian, ia juga mau menunjukkan tentang misteri Agung Sang Allah Bapa. Sehingga dalam pernyataan terhadap Filipus, Yesus katakan demikian: “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa”.(Yohanes 14:9).

Namun, apakah dengan itu, manusia sudah tahu tentang semua rencana dan karya Tuhan? Apakah melalui Wahyu, manusia juga tahu secara persis tentang kehendak Allah? Sesungguhnya, karya pewahyuan bukanlah sebuah kesempataan agar manusia mengetahui secara keseluruhan tentang misteri agung Allah. Demikian pula, karya pewahyuan juga tidak menyediakan peluang untuk mengetahui semua rencana dahsyat Allah. Sebab, tentu karya pewahyuan hanya menampakan sebagian kebenaran-kebenaran imani. Ia hanya menyampaikan sebagian rancangan (karya) Tuhan agar dengan itu manusia senantiasa bertekun dalam pengajaran sambil setia mengimani Allah.

Kedua,  karena melalui Wahyu, Allah hendak menyelamatkan manusia. Dalam Dei Verbum, art. 3 ditegaskan bahwa melalui pewahyuan Allah  hendak membuka jalan menuju keselamatan yang sebetulnya sudah lama ditampakan kepada manusia pertama. Sejak PL hingga PB, Allah seyogianya telah menunjukkan karya pewahyuan kepada manusia. Namun demikian, tindakan Allah tersebut bukan tanpa alasan. Allah justru bertindak demikian supaya manusia dapat memperoleh keselamatan. Allah datang menunjukkan diriNya supaya manusia dapat memperoleh kehidupan kekal. Sehingga, dalam Injil Yohanes 14:6, Yesus mengatakan demikian:”Akulah jalan kebenaran dan hidup”. Sebab tentu, Ia telah menyatakan diriNya dan hanya melalui karya pewahyuanNya orang akan menggapai penyelamatan hidup.

Posisi Iman dan Model Pewahyuan

Selain dijelaskan tentang alasan karya pewahyuan, dalam Teologi Katolik juga dikemukakan dua jenis Wahyu, yakni Wahyu Umum dan Wahyu Khusus (Pribadi). Wahyu umum sesungguhnya terkait dengan kebenaran-kebenaran umum tentang Allah, yang secara tekstual, misalnya, dinyatakan dalam Kitab Suci. Maka dari itu, semua pengajaran tentang Allah yang dinyatakan dan diakui dalam PL dan PB adalah bagian dari cara Allah menyatakan diriNya.

Sementara itu, Wahyu Pribadi terjadi dalam perjumpaan personal seorang pribadi dalam kehidupan sehari-hari. Itu berarti, Wahyu Pribadi terjadi hanya pada diri orang tertentu saja. Wahyu ini adalah rahmat khusus yang hanya diperuntukkan untuk segelintir orang. Dalam kitab Wahyu, Yohanes menunjukkan bagaimana ia memperoleh karunia pewahyuan dari Allah. Tatkala dikarunia Roh Kudus, ia melihat bagaimana Anak Manusia berpakian jubah yang panjangnya sampai di kaki dan pinggangNya dililit ikat pinggang emas (Whyu 1:12). Sehingga ini adalah contoh bagaimana Wahyu Pribadi hanya dikarunia secara khusus kepada orang tertentu saja.

Lalu, bagaimana posisi Iman di hadapan Wahyu. Dalam  teologi Katolik dijelaskan bahwa melalui pewahyuan Allah menyatakan diriNya kepada manusia. Karena itu, di hadapan Wahyu, manusia semestinya menunjukkan keberimannya yang utuh. Wahyu yang telah dinyatakan Allah, harus dibalas dengan iman atau keyakinan manusia akan Allah. Sebab, dalam Katekismus Gereja Katolik dijelaskan demikian:

“Melalui iman, manusia menaklukkan seluruh pikiran dan kehendaknya kepada Allah. Dengan segenap pribadinya manusia menyetujui Allah yang mewahyukan Diri”. Karena itu, sekali lagi diingatkan bahwa Allah sesungguhnya sudah menyatakan diriNya kepada manusia dalam setiap karya pewahyuan. Maka, kita sekalian diundang untuk tetap setia dalam keyakinan dan berdiri kokoh dalam pengharapan.

Sehingga demikianlah kita mesti mengingat bahwa “iman membuat semua hal menjadi mungkin, cinta membuat semua hal menjadi mudah”. Maka di hadapan Misteri Agung, kita mesti memperbanyak iman sebab dengan itu kita dapat mengerti sesuatu yang sulit sekalipun. Demikian, kita mesti memperbanyak cinta supaya dengan itu kita bisa tahu seperti apa wajah Allah Sang Pengasih dan Penyayang.

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait