Oleh:
RD Fransiskus Nala*
Dalam kehidupan sehari-hari kadang kita berada dalam situasi percampuran antara yang asli dan yang palsu. Ibarat gandum dan ilalang yang berbaur sedemikian rupa sehingga sulit untuk dibedakan, demikian juga kita mengalami kesulitan untuk membedakan antara kesalehan dan kemunafikan, kawan dan lawan, kasih dan narsisme(cinta-diri), pelayanan dan ambisi, pengorbanan dan masokhisme (gemar menyakiti diri sendiri). Tidaklah mengherankan jika wajah kehidupan kita dipenuhi dengan perasaan curiga, was-was, dan berbagai pikiran negatif terhadap sesama di sekitar kita. Siapakah di antara kita yang berani mengatakan bahwa ia bebas dari kepalsuan, kepura-puraan dan kemunafikan? Percampuran antara nilai Kerajaan Allah dengan nilai duniawi terlihat dalam berbagai kasus yang mendorong umat kristen melakukan hal-hal yang kejam dan mengerikan dalam sejarah. Tak jarang juga orang menggunakan nama (Firman) Tuhan atau pelayanan gerejawi untuk melegitimasi hasrat pribadi atau kepentingan tertentu.Singkatnya, wajah kehidupan kita tak terlepas dari sikap manipulatif atau palsu.
Allah datang memulihkan wajah buram kehidupan manusia melalui Putera-Nya. Ia tidak mengirim para tentara untuk membinasakan orang-orang jahat dan berdosa. Walaupun Mahakuasa, Ia memilih cara yang hina dan berinkarnasi dalam rupa manusia lemah. Inkarnasi diri Allah menjadi manusia berarti Allah berkenan memposisikan diri-Nya yang tak terbatas menjadi terbatas. Misteri ilahi yang tersembunyi berabad-abad lamanya kini terungkap dalam wujud manusiawi yang tampak dan kelihatan. Misi inkarnasi itu amat jelas: “Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya” (Yoh. 1:4-5). Yesus dalam wujud-Nya sebagai manusia hadir untuk menerangi kehidupan manusia yang diselimuti kabut pekat kegelapan. Dengan itu umat manusia mampu membedakan apa yang benar dan apa yang palsu, yang terang dan yang gelap, yang kudus dan yang najis. Memang manusia membutuhkan Yesus agar mampu memandang realitas kehidupan ini dengan cara pandang Allah sendiri, dan bukan dengan cara pandang manusiawi yang retak karena telah dirusakkan oleh dosa. Dalam dan melalui Yesus Sang Emmanuel, kita menemukan kembali gambar dan rupa Allah yang sempurna.
Entah sadar atau tidak, kadang kita memandang dan menilai realitas kehidupan ini berdasarkan cermin diri kita masing-masing. Bila cermin itu utuh, tidak retak, bersih dan memiliki daya pantul yang baik, maka kita dapat melihat sesuatu yang ada di depan dengan baik dan jelas. Sebaliknya, kalau cermin diri itu tidak utuh, retak, tidak rata, cembung atau cekung, kotor dan tidak memiliki daya pantul, maka kita tidak akan mampu melihat pantulan diri secara tepat. Atau mungkin kita melihatnya dalam bentuk yang aneh, karena wajah dan tubuh kita berubah dalam bentuk yang tidak normal karena cermin yang kita gunakan adalah cermin yang cembung atau cekung. Apa yang terjadi kalau dalam kehidupan sehari-hari kita menggunakan cermin cembung atau cekung untuk menilai sesama? Yang terjadi ialah bahwa kita melihat orang lain dalam bentuk yang aneh, ganjil dan menjijikkan. Padahal sesungguhnya keanehan dan keganjilan itu bukan pada sesama kita, melainkan berasaldari diri kita sendiri. Kadang juga terjadi permukaan cermin diri itu datar, utuh dan tidak retak, tapi sayangnya serba buram sehingga kita melihat sesama dalam kondisi yang samar-samar dan kotor.
Kini sebuah cermin yang mampu memantul-balik objek di depannya dari berbagai sudut sedang dirancang. Dengan cermin itu, kita dapat melihat bayangan diri kita sendiri secara sempurna dari berbagai sudut. Itulah cermin universal.Ia mampu menangkap setiap detail yang menghiasi kehidupan kita dengan jernih dan transparan. Cermin universal itu dinyatakan Allah melalui peristiwa inkarnasi. Dalam diri Yesus yang berinkarnasi, kita mampu melihat kenistaan diri yang tidak terlihat oleh orang lain,pun oleh diri kita sendiri. Selain itu, Ia memampukan kita untuk melihat kelimpahan anugerah kasih Allah yang mengalir dalam diri kita. Melalui pengenalan dan iman akan pribadi Yesus, kita tidak dapat lagi memanipulasi atau menyembunyikan realitas diri kita. Kerapuhan-keberdosaan kita tersingkap di hadapan-Nya, namun pada saat yang sama kita menemukan kerahiman Allah yang mengasihi tanpa syarat.
Yesus sang cermin ilahi itu hadir dalam wujud insan yang sederhana. Ia tidak memilih lahir dalam kenyamanan dan keistimewaan status sosial bangsawan atau kerajaan dunia. Sebaliknya, Ia mau lahir miskin dan hina. Kisah kelahiran-Nya di kandang Betlehem telah berulang-ulang kita dengar dan renungkan setiap kali merayakan Natal. Tapi apa artinya bagi kita?Apakah hanya sekedar peristiwa memorial dan seremonial yang selesai dalam perayaan liturgi Gereja yang gegap gempita? Ataukah kita memaknainya sebagai peristiwa kelahiran kita juga menjadi manusia baru seturut contoh dan teladan Yesus yang rela mengosongkan diri-Nya dan lahir sebagai manusia hina-lemah di palungan? Kalau boleh jujur, mata hati kita cukup sering tidak peka untuk melihat situasi kemiskinan dan penderitaan sesama. Telinga kita pun tertutup untuk menanggapi jeritan sama saudara yang terpinggirkan dalam hidup. Bahkan secara tidak sadar kita menjauhi orang yang kelihatannya miskin dan menderita. Sebab dalam persepsi kita, orang yang bahagia dan diberkati Tuhan itu kalau berhasil secara materi.
Lalu, bagaimana tanggapan manusia terhadap Yesus yang datang dalam kemiskinan ke tengah dunia? Inilah jawabannya: “Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya” (Yoh. 1:10-11). Pertanyaan mendasarnya ialah mengapa manusia mengabaikan atau menolak kehadiran Yesus dalam hidupnya?Banyak kemungkinan alasan yang bisa dikemukakan, baik secara personal maupun komunal. Namun ada satu jawaban yang paling mungkin mengapa manusia sepanjang zaman mengabaikan dan menolak kehadiran Yesus, yaitu karena manusia sering terperangkap dalam hawa nafsu, keinginan dan pikirannya sendiri. Wajah kehidupan manusia zaman ini telah ditandai oleh sikap egois-cinta diri dan egosentrisme yang begitu kuat. Dengannya ia sering tergoda untuk hanya bercermin pada dirinya sendiri atau menjadikan dirinya sebagai rujukan penilaian. Itulah sebabnya mengapa manusia tidak memiliki kepedulian akan kehadiran sesamanya.
Penolakan kita pada Yesus tentu bukan hanya dalam pengertian menolak untuk dibaptis dan mengaku percaya serta melayani Dia. Penolakan kita pada Yesus juga lebih banyak dinyatakan dalam sikap mengasingkan sesama karena kita sedang berada dalam keterasingan dan kesepian spiritual. Selama kita masih berada dalam situasi keterasingan dan kesepian secara spiritual sebenarnya kita belum berada dalam naungan anugerah keselamatan Allah. Sebab anugerah keselamatan Allah itu senantiasa ditandai oleh syalom, yaitu keselamatan dan damai-sejahtera. Bagaimana mungkin kita yakin telah berada dalam anugerah keselamatan Allah, tetapi pada saat yang sama, kita jauh dari perasaan damai-sejahtera. Apakah mungkin anugerah keselamatan Allah dapat berjalan bersamaan dengan perasaan terasing secara spiritual? Mungkinkah keselamatan yang dibawa Yesus dapat dihayati tanpa relasi kasih dengan diri sendiri, sesama, alam dan Tuhan? Jawabannya jelas: Tidak mungkin! Kita tidak mungkin beriman, tetapi terasing dari Allah,sesama, diri sendiri, dan juga alam ciptaan. Iman mesti dihayati dalam relasi yang holistik. Kondisi perasaan terasing dan kesepian secara spiritual membuat pandangan kita terhadap sesama menjadi buram dan kotor.
Sekali lagi, narsisme, egoisme dan egosentrisme seringkali berakar pada kondisi hidup yang dipengaruhi oleh perasaan terasing atau alienasi. Pertama, bukankah dalam kesepian dan keterasingan, kita merasa hampa dan tidak berarti sehingga sulit untuk menyadari kehadiran atau keberadaan orang lain di sekitar kita? Saat kita merasa terasing dan kesepian, kita tidak akan peka dan peduli dengan siapa pun. Kedua, saat kita merasa terasing dan kesepian, kita akan mudah tersinggung dan marah. Sebab kita merasa orang-orang di sekitar kita tidak memberi perhatian dan kepedulian sebagaimana yang diharapkan. Ketiga, ketika berada dalam situasi kesepian dan keterasingan,kadang kita menuntut orang lain agar berperilaku menurut pola pikir dan keinginan kita. Keempat, saat kita merasa terasing dan kesepian, kita cenderung menghakimi orang lain. Singkatnya, keterasingan dan kesepian secara spiritual selalu merusak wajah kehidupan dan relasi kita dengan sesama.
Kebeningan budi dan keheningan rohani di dalam Yesus akan memampukan kita untuk bercermin dan mencerminkan diri secara sempurna. Kita tidak lagi menggunakan cermin yang buram yang membuat kita selalu hanya melihat berbagai titik hitam dalam diri sesama. Kita juga tidak lagi menggunakan cermin yang retak sehingga menyebabkan kita hanya melihat keretakan dalam diri orang lain. Demikian pula kita tak akan menggunakan cermin cembung atau cekung yang menyebabkan kita hanya menemukan hal-hal ganjil dalam diri seseorang. Sebaliknya secara konsisten kita menggunakan cermin Yesus yang memampukan kita dengan jeli dan tajam melihat realitas hidup yang penuh dengan dosa, namun mampu melihat dan mengalami kasih kerahiman Allah yang berlimpah bagisetiap umat manusia. Bila kita sudah menggunakan cermin Yesus, maka yakinlah kita akan mampu memulihkan wajah dunia ini. Cermin Yesus membuat mata rohani kita semakin bening dan hening, sehingga dimampukan Allah sebagai agen-agen perubahan yang memulihkan wajah kehidupan seluruhnya, baik wajah kehidupan kita sendiri maupun wajah kehidupan sesama di sekitar kita.
*RD Frans Nala adalah seorang Imam Projo Keuskupan Ruteng yang berasal dari Paroki Maria Bunda Segala Bangsa Wae Sambi. Saat ini beliau bertugas di Pusat Pastoral Keuskupan Ruteng.