Bacaan I: Amos 6:1a,4-7
Bacaan II: 1 Timotius 6:11-16
Injil Lukas 16:19-31
Kita mungkin berpikir bahwa musuh terdekat dari kasih adalah kebencian. Tetapi, dari perumpamaan Yesus tentang Orang Kaya dan Lazarus, kita memperoleh pemahaman bahwa lawan terdekat dari kasih, bukanlah kebencian, tetapi ketidakpedulian.
Ketidakpedulian itu seakan mengental dalam prinsip hidup si kaya yaitu lebih baik terbuang-buang daripada harus berbagi. Lebih baik makanan itu jatuh ke lantai, terbuang, bahkan membusuk, daripada harus berbagi dengan sesama yang lapar seperti Lazarus. Jadi ketidakpedulian bukan muncul karena adanya ketakutan akan berkurangnya persediaan dari apa yang dia miliki, tetapi soal hati yang tidak tergerak oleh belas kasih, apalagi mau bergerak untuk membantu.
Hati semestinya merasakan apa yang dilihat untuk segera bergerak. Hati semestinya menjebatani antara mata dan kaki. Sebab, tanpa hati, manusia melewati hari-hari hidup seperti robot.
Kita dapat memerhatikan perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:25-37). Dalam perumpamaan itu, Imam dan Lewi melewati begitu saja tubuh seseorang yang terkapar setengah mati di jalan. Maka layaklah kalau Tuhan mengatakan, bahwa hanya orang Samaria yang tergerak hatinya oleh belas kasihan dan segera bergerak membantu orang yang sekarat itu yang telah memposisikan diri sebagai sesama manusia. Imam dan Lewi berjalan seperti robot melewati tubuh yang sekarat tanpa merasakan apa pun.
Apakah sampai di sini, kita masih mengatakan bahwa hanya dengan iman saja; hanya dengan percaya saja; hanya dengan memberi diri dibaptis saja; hanya dengan menjadi orang Kristiani saja, kita langsung dibenarkan Tuhan? Bukankah saat pengadilan terakhir (Matius 25:31-46), Tuhan akan mengadili kita dengan hukum-Nya, yaitu hukum kasih, “segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku,” Kata Yesus. Bahkan Yesus menambahkan bahwa orang yang gagal mengasihi akan masuk ke tempat siksaan yang kekal. Tetapi, orang benar ke dalam hidup yang kekal. Status Kekatolikan Anda dan saya, hanya berarti kalau kita mampu mengasihi.
Pada titik ini, definisi iman bukan semata-mata memeluk agama; bukan juga sebatas memberi diri dibaptis; bukan sekadar percaya bahwa Yesus itu Allah; beriman mesti diartikan sebagai kepatuhan yang total pada kehendak Allah.
Lalu apa yang Allah inginkan dari kita? “Inilah perintah-Ku,” Kata Yesus, yaitu “supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yohanes 15:12). Itulah hidup yang sesungguhnya. Itulah citra diri manusia yang sesungguhnya. Manusia yang memiliki hati tergerak oleh belas kasihan untuk selanjutnya bergerak untuk membantu. Robot tidak dapat merasakan seperti yang manusia rasakan.
Ketidakpedulian orang kaya terhadap Lazarus telah memberikan gambaran dirinya sebagai pribadi robot, bukan manusia bagi sesama. Pribadi yang melihat tetapi tidak merasa. Bukan tidak mungkin manusia berkepribadian robot dapat membentuk kepribadian Anda dan saya, ketika kita tidak lagi peduli dengan sesama yang susah.
Bacaan Injil hari ini, mengajak Anda dan saya untuk bertanggung jawab terhadap sesama yang susah. Tanggung jawab ini bukan sekadar tanggung jawab sosial atau tanggung jawab politis, tetapi tanggung jawab iman. Dalam arti bahwa iman yang benar harus bertanggung jawab untuk selalu mengasihi.
Santo Gregorius Agung pernah mengatakan, “Ketika kita memberi kepada orang miskin apa yang penting bagi mereka, kita tidak melakukan kebaikan pribadi kepada mereka, melainkan mengembalikan kepada mereka apa yang menjadi milik mereka.” Apa pun yang kita miliki, kalau sudah melampaui kebutuhan hidup sehari-hari, ingatlah akan hal ini: ada hak Lazarus di dalamnya.
Si Lazarus adalah gambaran wajah Kristus yang tersalib yang tidak elok dipandang, tetapi setiap orang yang menghampiri-Nya akan melihat hidup abadi.
Tuhan memberkati kita semua.