RD Benediktus Gaguk
(Manager OM Keuskupan Ruteng)
Minggu, 03 Desember 2023 adalah pekan pertama umat Katolik memulai masa penantian, yang lazim disebut masa Adventus. Adventus diambil dari kata bahasa Latin, “Ádventus” yang berati kedatangan. Dalam tradisi Kristen, Adventus dipahami sebagai masa persiapan kedatangan Yesus Kristus di hari Natal. Masa penantian yang terbagi atas 4 pekan ini, memiliki dua makna mendalam. Pertama, terhubung dengan peristiwa kelahiran dan inkarnasi. Kedua, menunjukkan penantian kedatangan Yesus di masa depan.
Lingkaran Empat Minggu Adventus!
Bagi Umat Katolik, Minggu Pertama Adven, meMfokuskan diri pada permenungan kedatangan Kristus di akhir zaman dan penghakiman terakhir. Untuk itu, semua umat beriman diajak untuk hati-hati dan berjaga-jagalah. Umat Kristiani diminta untuk tidak terlena dengan kemilauan dan kemerlapan dunia, terbawa oleh arus lautan kehidupan duniawi. Sebaliknya, arahkanlah pikiran, hati dan batin kepada Tuhan, sebagai puncak pemenuhan segala peziarahan di dunia. Ada banyak tanda-tanda dan peristiwa yang mencengangkan, menakutkan, dan mengkhawatirkan. Namun Kristus, Sang Anak Manusia, akan datang “dari balik awan” yang menebus, menguduskan dan menyelamatkan dunia dan segala ciptaan.
Pada Minggu Adven Kedua dan Ketiga, Yohanes Pemandi menjadi tokoh sentral. Figur pemuda “padang gurun’ ini memberikan pemaknaan pada penantian. Bahwa menanti bukanlah “kerja pasif’ nirmakna, melainkan aktif-konstruktif. Ia tidak diam menanti, dan takluk pada kesunyian padang gurun yang gersang. Ia lantangkan suara, mengajak semua orang untuk bertobat; meningggalkan cara hidup lama, meluruskan jalan kehidupan yang bengkok dan berlekak-leluk, menyucikan diri dan berubah untuk berbuah. Yohanes menanti dengan keugaharian, kesederhanan. Ia berpakaian kulit unta dan dikenyangkan dengan belalang dan madu hutan: sebuah sikap “pengosongan” diri untuk menyambut “kepenuhan” dalam diri Yesus, Sang Imanuel. Ia juga menanti dengan kerendahan hati. Tak bosan-bosan ia menyampaikan kepada khalayak yang berjubel mengurumuminya di sekitar sungai Yordan, bahwa bukan dia yang dinanti, tapi Mesias sejati”. “Bahkan membuka tali kasutnya pun aku tidak layak” Kata Yohanes. (Yoh 1:27)
Minggu Adven Ketiga juga disebut minggu Gaudete, yang berarti bersukacitalah. Kata sifat “bersukacitalah” ini berasal dari antifon pembukaan pada Minggu itu, yaitu “Bersukacitalah selalu dalam Tuhan. Sekali lagi kukatakan: bersukacitalah! Sebab Tuhan sudah dekat.” (Flp 4:4.5). Tuhan menyerukan agar kita bersukacita. Sukacita itu datang dari kenyataan bahwa pesta kelahiran Tuhan sudah dekat.
Minggu ketiga Adven adalah titik tengah dari keseluruhan Masa Adven yang berlangsung selama empat minggu. Di tengah masa persiapan yang bersifat prihatin dan matiraga itu, Gereja memberikan “break” (istirahat) dan mengajak umat bersukacita. Minggu Gaudete ini juga mengingatkan umat, bahwa masa Adven akan segera berakhir dan pesta kedatangan Yesus Kristus sudah semakin mendekat. Maka perlu dikembangkan harapan yang akan menumbuhkan kesabaran dan ketekunan, untuk mempersiapkan diri sampai akhir. Kita dapat bertahan dalam kesulitan dan tantangan hanya jika kita sadar bahwa buah-buahnya layak-derita (bdk Yak 5:7-10
Bunda Maria menjadi fokus utama pada Minggu Adven Keempat. Selain karena bacaan Injil Minggu keempat Adven berbicara tentang peristiwa kabar gembira, Gereja Katolik juga memberikan penghormatan kepada Bunda Maria dalam perayaan Bunda Maria yang dikandung tanpa Noda pada masa Adven, tepatnya setiap tanggal 08 Desember. Menanti kedatangan Tuhan bersama Maria berarti menanti dengan penyerahan yang total kepada Tuhan dan percaya pada penyelenggaraanNya. “Fiat voluntas tua”: terjadilah padaku menurut perkataanMu. Terkadang masa penantian itu membosankan, membingungkan, melelahkan. Tak pelak, kita melarikan diri pada hibura-hiburan yang tidak sehat. Kemudian jatuh terjerembab pada lumpur dosa atau hancur pada bebatuan dosa, lalu menjadi butiran debu. Maria mengajak kita untuk setia pada penyelenggaraan Allah yang tak pernah menginggalkan umaNya seperti yatim piatu (Bdk. Yoh 14: 18a)
Adventus: Sejarah dan “Goldene Legende”
Adven sudah dikenal sejak akhir abad keempat. Mula-mula hanya berlangsung selama tiga minggu. Karakter utama dari masa penantian tiga minggu ini adalah diwarnai dengan doa dan asketisme, yaitu puasa. Persis masa puasa yang dijalan pada masa sebelum perayaan Paskah. Adven ini dipraktikkan di Roma pada abad keenam. Yang ini lebih lama panjang lagi. Masa penantian membentang hingga enam minggu. Baru sejak Paus Gregorius I, yang juga dikenal sebagai Paus Agung (590-604), mempersingkat masa Adven menjadi empat hari Minggu. Sejak Konsili Trente (1545-1563), Adven telah ditetapkan selama empat minggu di seluruh gereja.
Goldene Legende (legenda aurea), yang ditulis antara tahun 1236 dan 1273, merangkum keragaman pemikiran dan isi masa Adven. Empat minggu Adven menunjukkan empat makna kedatangan Kristus di masa yang akan datang: pertama, Dia akan datang ke dunia, menjumpai dan merangkul kita mausia dalam kemanusiaan kita, kebertubuhan dan keberjiwaan, kegembiraan dan penderitaan, kemuliaan dan kehinaan manusawi. Dia datang dengan kepenuhan kasih karunia ke dalam hati manusia. Ia membakar api kemuliaan dan keilahian dalam hati manusia agar tetap berkanjang dalam persekutuan cinta dengan Allah. Ketiga, Dia datang kepada kita manusia dalam kematian. Kristus memasuki realitas kematian kita. Dengannya tubuh dan jiwa manusia yang fana diterangi cahaya kebangkitan. Keempat, Dia akan datang kembali pada saat penghakiman terakhir. Dia adalah Raja Adil yang menghakimi manusia berdasarkan perbuatan-perbuatan manusia. “Apa yang kau lakukan bagi salah seorang dari saudaraKu yang hina dina ini, itu engkau lakukan untuk Aku”. (Bdk Mat 25:40). Dan manusia pendosa akan mendapat hukuman setimpal. Namun oleh kasih karuniaNya yang tanpa batas, Ia duduk di “kursi terdakwa”. Bukan untuk menghilangkan hukuman manusia akibat dosanya, tetapi ia sendiri “memikul” hukuman atas manusia, seperti yang telah ia telah tunjukkan pada peristiwa Salib.
Adventus dan Adventkranz
Karangan Bunga (Adventkranz) di tempatkan di dalam Gereja, biasanya di samping Altar, sejak Minggu Pertama Adven. Karangan Bunga terbuat dari dedaunan hijau yang dibuat melingkar. Di atas karangan bunga tersebut diletakkan empat lilin. Satu lilin dinyalakan setiap hari minggu, hingga semua lilin menyala pada malam Natal. Cahaya itu dimaksudkan sebagai simbol Yesus Kristus yang lahir pada hari Natal sebagai terang dunia yang sebenarnya.
Sejak tahun 1860 dan seterusnya, cabang pohon cemara digunakan sebagai hiasan karangan bunga Adven. Cabang-cabang pohon cemara adalah simbol kehidupan: pohon cemara juga menghijau di musim dingin dan mengacu pada harapan bahwa alam akan membangkitkan kehidupan baru di musim semi.
Minggu I Adventus: Menanti Sambil Berjaga-Jaga!
Bacaan Injil yang direnungkan oleh umat Katolik pada minggu I Adven diambil dari Markus 13:33-37. Umat Katolik diajak untuk menantikan kedatangan Sang Juruselamat sambil mawas diri dan berja-jaga. “Hati-hatilah dan berjaga-jagalah” (Mrk 13:33). Ajakan untuk berjaga-jaga pada penggalan perikop ini tak dapat dilepas-pisahkan dengan serangkaian ayat sebelumnya (14-32) di mana perihal berjaga-jaga ditekan berulang-ulang.
Mrk 13:14-32 berbicara tentang Kehancuran Yerusalem dan akhir Zaman. Dua tema yang menghadirkan kegentaran dan kegetiran. Seperti ketika ranting-ranting kelembutan dan mulai bertunas sebagai petanda musim panas sudah dekat, demikian ketika melihat bangsa Yahudi dikacaukan oleh Perang, dibingungkan oleh mesias-mesias dan nabi palsu, serta pelbagai kemunafikan dan kedengkian merajalela, itulah petanda bahwa kehancuran Yerusalem sudah dekat, bahkan diambang pintu. Demikian pula tentang akhir dunia itu mencemaskan. Segalanya tak pasti. Waktunya sudah ditetapkan dalam rencana Allah, tetapi tidak diwahyukan melalui Firman Allah kepada siapapun, entah itu kepada manusia-manusia di bumi ataupun kepada malaikat di Surga. Dan bahkan Anak pun tak tahu. Hanya Bapa di Surga (Mrk 13:32). Namun, adakah sesuatu yang tidak diketahui Anak? Dr. Lightfoot menjelaskan hal ini sebagai berikut, “Kristus menyebut diri-Nya Anak, sebagai Mesias. Mesias dalam hal ini adalah hamba Bapa (Yes. 42:1), yang diutus dan yang mewakili Bapa. Oleh karena itu, Dia selalu mengarahkan diri-Nya kepada kehendak dan perintah Bapa-Nya, dan Dia mengakui bahwa Dia tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri” (Yoh. 5:19). Berdasarkan pikiran ini, kita bisa mengatakan juga bahwa Dia tidak dapat mengetahui sesuatu dari diri-Nya sendiri. Pewahyuan yang disampaikan Yesus Kristus adalah apa yang dikaruniakan Allah kepada-Nya (Why. 1:1).
Maka untuk dua hal tersebut, kehancuran yang menakutkan pun pula akhir dunia yang membawa ketidakpastian dan pesimisme, Sabda Tuhan meminta kita untuk berjaga-jagalah senantiasa. Orang yang berjaga-jaga, mawas diri-mawas hati akan selalu mengambil “posisi siap siaga” ketika sesuatu bakal terjadi. Diumpamakan hal berjaga-jaga itu seperti hamba-hamba dan penunggu rumah menantikan kedatangan tuannya. Mereka tidak boleh berjaga-jaga sambil “ngelamun” atau “duduk kosong”. Itu menjadi “pintu masuk” menuju “kenyenyakan”. Padahal mereka tidak ingin kedapatan tertidur lelap saat tuannya pulang. Untuk itu mereka mesti berjaga-jaga yang aktif, bukan pasif. Artinya berjaga-jaga sambil melakukan kerja-kerja kreatif agar penantian itu bermakna. Dan, tentu sambil berdoa. “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah” (Mat 26:41)
Paroki Ramah Anak: Pastoral Berjaga-Jaga!
Semua orang tua berharap, anak-anak mereka menjalani masa-anak dengan penuh sukacita dan kegembiraan. Mereka bertumbuh dan berkembang dengan baik, dengan fisik yang kuat dan jiwa yang sehat, penuh dengan keceriaan. Mereka melewati masa kanak-kanak dengan senyum, muka gembira,dan tawa canda, tanpa rasa takut dan getir. Mereka mendapatkan kasih sayang dari orang tua, sanak-saudara, guru, orang-orang terdekat. Mereka memandang masa depan dengan penuh harapan, optimis tanpa kekuatiran. Disemogakan, amin.
Namun “ancaman kehancuran seperti Yerusalem” saat ini sepertinya pelan-pelan menyuramkan senyuman pada bibir suci anak-anak. Mesti diakui, anak-anak, pun orang tua sedang mengalami kegentaran, ketakutan dan kekuatiran. Lingkungan kita, saat ini, sekali saat ini, tidak lagi menjadi tempat yang aman untuk anak-anak. Kita semua takut, kalau-kalau terjadi sesuatu yang “bukan-bukan” dengan anak-anak. Kita berasumsi bahwa lingkungan sekitar, hidup bertetangga, teman bermain adalah tempat yang nyaman untuk anak-anak. Belum tentu! Kita berharap bahwa sekolah menjadi tempat yang ramah anak. Tidak pasti! Kita percaya bahwa rumah dan sanak saudara menjadi ruang yang nyaman bagi anak-anak kita. Tidak yakin! Kita amat berharap bahwa lingkungan rumah ibadat dan keagamaan adalah tempat yang super-aman bagi anak-anak. Hmmm, belum tentu. Kita pun akhirnya hidup dalam ketidakpastian tentang anak-anak, seperti kapan akhir zaman terjadi, yang kita tidak tahu pasti.
Berita-berita dan saksi mata menunjukkan bahwa kekerasan dan “penjajahan” justru dilakukan oleh teman sepermaian. Sekolah menjadi “sarang”pembullyan, kekerasan fisik dan verbal, bahkan kekerasan seksual. Orang-orang terdekat justru mejadi “predator” anak. Kekerasan Seksual juga terjadi di tempat ibadat dan lembaga keagamaan yang maha suci. Ya Tuhan.
Lalu, kita buat apa?
Paroki Ramah Anak (PRA) Keuskupan Ruteng dalam kemitraan dengan Wahana Visi Indonesia adalah salah satu upaya untuk menciptakan lingkungan yang nyaman dan aman bagi anak-anak. PRA adalah sebuat Pastoral Berjaga-jaga untuk menciptakan lingkungan yang memenuhi hak dasar anak dan melindungi anak dari kekerasan.
Agar terpenuhinya Hak Dasar Anak, PRA melalui kegiatan Anak Sekami membuka kesempatan bagi untuk bertumbuh secara iman-spiritual, mengembangkan bakat dan keterampilan, berpartisipasi dalam berbagai kegiatan Gerejani serta menghidupi semangat cinta kehidupan anti kekerasan. Mereka belajar untuk solider dengan sesama khususnya yang menderita. Juga dibiasakan mencintai lingkungan hidup melalaui kegiatan ekologis. Agar anak bertumbuh dengaan sehat, PRA memfasilitasi penyediaan Jaringan Air Bersih dan Jamban bagi keluarga miskin sederhana dalam koordinasi dengan desa PFA. Demikian pun kesehatan Ibu dan Anak diprioritaskan melalaui program kebun gizi keluarga.
Agar terciptanya lingkungan yang aman bagi anak, PRA mendampingi, menumbuhkan motivasi serta meningkatkan pengetahuan dan pemahaman orang dewasa yang terhubung dengan dunia anak. Mereka diberi pengetahuan dan pemahaman tentang Martabat Anak senagai ciptaan Tuhan, tentang Hak-Hak dasar Anak, Jenis-Jenis Kekerasan terhadap Anak dan upaya perlindungan kepada Anak. Mereka dikapasitasi dengan Modul Pengasuhan dengan Cinta (PDC), agar tidak mengasuh anak dengan rotan, cacian dan makian. Melalui Rekolesi, Katekese, dan Misa mereka disadari tentang Anak sebagai Anugerah Tuhan dan mengasuh anak sebagai perpanjangan kerja Tuhan yang mencipta dan memelihara dunia dan ciptaan dengan penuh cinta. Mereka adalah pemimpin-pemimpin agama (faith leaders), orang tua, guru, orang muda, tokoh pemerintah dan masyarakat.
Agar anak terlindungi, PRA membentuk Referal-System melalui tim CHAT yang ada di paroki. Dengan adanya Referal-system ini diharapkan bahwa perlindungan anak dari kekerasan semakin nyata. Masyarakat dan umat pun termotivasi dan semakin aktif menjadi pelopor kampanye anti Kekerasan dan pelapor terjadinya kekerasan terhadap anak-anak.
Berjaga-jagalah dan kerja-kerja nyata!*
Bahan Bacaan:
“Adventszeit: Ursprung und Bedeutung der Vorweihnachtszeit: Volkstimme.de
“ Religion und Gesslschaft” Wie und warum feiern wir Advent?: Mdr.de
“Matthew Henry Commentary”: Bible Interpretation Application.
OM Keuskupan Ruteng,“ Booklet Diseminasi Kemitraan LkP3 KR-Wahana Visi Indonesia” , Ruteng: 2022