Renungan Harian Katolik: Menanti Perahu di Tepi Danau Galilea

advanced divider

Bacaan: Mrk. 1:14-20

 

Galilea I

Pagi-pagi, Simon dan Andreas menebarkan jala. Rupa-rupanya semalam suntuk bukanlah waktu beruntung bagi mereka. Ataukah tangkapan semalam tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga? Atau mungkin lagi banyak yang membutuhkan ikan? Entahlah, hanya mereka yang tahu jawabannya.

Yang pasti tak lazim menangkap ikan di siang bolong. Tetapi hal itu justru dilakukan oleh kedua bersaudara itu.

Tak cuma Simon dan Andreas, dua bersaudara yang lain Yohanes dan Yakobus juga sedang “asyik-asyiknya bekerja” di tepian Danau Galilea. Rupanya kedua anak Zebedeus lebih beruntung semalam. Pagi ini mereka tak harus melaut. “Mereka hanya sibuk membereskan jala di dalam perahu.

Membereskan dan menebarkan jala adalah dua aktivitas kunci dunia “pelayanan”.

Jala selalu dibereskan. Agar mendapatkan ikan yang banyak, mereka harus memiliki jala yang kuat, kokoh, dan layak “melaut”. Harus dipastikan bahwa antara tali yang satu dengan yang lain terhubung, terikat, dan bertaut dengan baik, agar mampu menangkap dan menampung ikan, seberapa pun banyaknya.

Jala, baru dikatakan jala, kalau ia “ditebarkan” di lautan, sungai dan danau. Juga bukan sembarang tebar, mereka, para nelayan, tahu baik kapan turun melaut. Melaut yang tepat adalah malam hari. Itu pun juga mengandaikan kemampuan membaca petunjuk bintang dan bulan.

Dan yang dibutuhkan juga adalah keberanian menaklukkan lautan dan danau, haru berani menuju ke tempat yang lebih dalam, menantang taufan yang tiba-tiba mengamuk, juga bintang air yang mungkin saja siap memangsa.

Galilea II

Yohanes sedang mendekam di penjara. Ia ditangkap oleh Herodes Antipas gara-gara mengkritik “perselingkuhan” antara Herodes dengan Herodian, isteri dari saudaranya, Filipus.

Waktu Yesus mendengar, bahwa Yohanes telah ditangkap, menyingkirlah Ia ke Galilea memberitakan Injil Allah, kata-Nya: “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil”.

Upaya menghadirkan Kerajaan Allah bukanlah proyek dan ambisi pribadi. Ia membutuhkan “rekan sejawat”, teman, sahabat yang adalah para pengikut, sebagaimana Yohanes juga memiliki pengikutnya.

Bukan dari kalangan pandai dan bijak beragama, pemegang teguh Taurat, atau penjaga Bait Allah yang saban hari mempersembahkan kurban di mezbah. Juga bukan “anak kota” di Yerusalem, atau dari kalangan elite istana.

Di Galilea, Ia menyusuri tepian danau, kawasan sibuk para nelayan. Siang itu, pasti semuanya sedang istirahat, setelah semalam suntuk mencari ikan. Itu yang dalam pikiran Yesus. Karena itu, betapa herannya Yesus, melihat dua orang bersaudara, Petrus dan Andreas, masih sibuk menebarkan jala untuk menangkap ikan. Bukankah malam adalah waktu yang benar melaut. Atau semalam suntuk mereka tak berhasil menangkap seekor pun?

Namun kemudian Yesus melihat ada sesuatu dalam diri kedua bersaudara itu: pekera keras, baik siang maupun malam. Karena bukan soal waktu, tetapi soal komitmen, tanggung jawab, dan harapan-harapan yang telah digantungkan pada tiang layar perahu ikan mereka.

Mereka sangat mencintai pekerjaan. Sekalipun mungkin gagal semalam, tapi tak lantas berpindah profesi jadi “penjual obat”. Mereka setia pada pekerjaan yang mungkin membosankan, karena rutinitas yang sama, terus berulang-ulang; sore melaut, pulang pagi, sore melaut, pulang pagi.

Keduanya adalah pemuda pemberani. Lautan dalam yang diarungi. Tak gentar menghadapi angin taufan dan badai yang menggelora. Panas terik dan dingin,  lapar dan  haus, serta ketakutan-ketakutan yang ditaklukan.

“Yang jenis begini cocok untuk menjadi rekan kerjaku” gumam Yesus di dalam hati.

“Mari ikutlah Aku. Dan kamu akan kujadikan penjala manusia”. Mereka pun meninggalkan jalanya lalu mengikuti Yesus.

Tak jauh dari situ dilihatnya dua orang sedang membereskan jala.

“Ini baru benar. Siang itu waktu yang tepat membereskan perlengkapan melaut. Bukan seperti teman kalian, Simon dan Andreas”, mungkin gumam Yesus dalam hati.

Kedua orang itu juga bersaudara. Yohanes dan Yakobus, anak Alfeus. Mereka sedang membereskan jala; memperbaikinya agar kuat kembali, sebelum melaut.

“Mereka dua juga pas”, sekali lagi Yesus bergumam.

Sebelum dipakai, pastikan kondisi jala itu baik. Jala adalah untaian tali-temali yang terhubung satu sama lain, yang kemudian membentuk jaring. Tanpa “berjejaring”, itu bukanlah jala. Itu hanyalah tumpukkan tali. Oleh karena itu, membereskan jala, memperbaikinya secara rutin adalah hal yang penting bagi para nelayan.

Yesus pun memanggil dua bersaudara ini. Bagi Yesus karya keselamatan yang diembanNya membutuhkan orang-orang kuat, yang mau selalu memperbaiki diri, dan mampu berjejaring-bekerja sama, dalam karya perutusan.

Yesus berharap agar dengan kerja kolaboratif Simon, Andreas, Yohanes, Yakobus, dan para murid lainnya nanti, mereka dapat  “menjala” manusia sebaik-baiknya, selayak-layaknya, sebanyak-banyaknya dari semua kalangan; laki-laki dan perempuan, orang kaya, kaum kecil dan terpinggirkan, orang tua, dewasa, dan juga anak-anak, termasuk anak yang menderita, dikucilkan atau dieksploitasi.

Galilea III

Seorang anak terpekur di tepian danau. Badan ringkih dengan air mata yang menetes tanpa henti. Matahari menyinari bumi. Namun baginya adalah kegelapan. Tepatnya, kegelapan di bawah matahari.

Ia tak ini bertemu siapa pun, kecuali menanti ibunya pulang membersihkan sampan tetangga.

Minggu kemarin, ia pulang pagi dari sekolah, sebelum pelajaran dimulai. Ia tak mampu menahan olokan teman-teman.

“Anak tanpa ayah”.

Hati bagai teriris sembilu. Ingin dirinya menikam wajah ayah dengan pisau. Kepergiannya ke tanah rantau belasan tahun lalu, meninggalkan luka baginya. Ia menjadi korban olokan sepanjang hari, sepanjang minggu, sepanjang bulan, sepanjang tahun, selama-lamanya.

Sayang ayahnya terlalu jauh. Mukanya saja tak ia kenal. Sang ayah pergi ketika ia masih di dalam kandungan ibu.

Tak terhitung pula olokan, caci maki, dan amarah dari orang-orang dekat. Tetangganya selalu mencibir ketika ia mengenakan pakaian baru yang dibeli ibunya.

Seringkali ia mendapat amarah dan tamparan dari Omnya. Yang terakhir, lantaran ia tak mau diminta bolos sekolah untuk menjaga ikan-ikan yang sedang dijemur.

Hari ini adalah yang paling kelam. Tetangganya, seorang Kakek, tega melakukan hal keji. Lelaki tua, yang telah dianggap sebagai keluarga sendiri, tegah melakukan perbuatan yang merusak hidup dan masa depannya. Seluruh badannya terasa sakit. Tetapi hatinya lebih perih. Ia tak berdaya, diam membisu.

Ia masih terpekur di tepian danau. Kali ini air mata membasahi sekujur tubuhnya yang ringkih. Ia menanti di pinggiran danau, berharap ada perahu lewat, menggapai jala-nya, biar tertangkap bersama ikan-ikan, Mungkin nasibnya sedikit baik.

Semalam hingga pagi, tak ada juga perahu yang lewat dan menebarkan jala. Tetapi Ia terus bertahan dalam keyakinan dan harapan.

Bukankah Gereja adalah Bahtera?

Oleh : RD. Beben Gaguk

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print