Bacaan-bacaan Minggu Biasa XXVIII Tahun C:
Bacaan I: 2 Raja-raja 5:14-17
Bacaan II: 2 Timotius 2:8-13
Bacaan Injil Lukas 17:11-19
Tahu menerima kasih, tetapi tidak tahu berterima kasih merupakan sebuah sikap yang tidak dikehendaki Tuhan. “Bukankah ke-10 orang tadi semuanya menjadi tahir? Di manakan yang kesembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah, selain orang asing ini?,” demikian gugatan Yesus dalam Injil hari ini.
Perbedaan sikap para kusta setelah mereka disembuhkan Yesus sedikitnya mengantar Anda dan saya untuk merenungkan beberapa hal berikut ini: Pertama, Allah yang penuh kuasa bersikap inklusif. Kuasa Allah yang penuh kasih tidak pernah membeda-bedakan manusia. Tidak ada orang yahudi dan orang samaria. Tidak ada orang pribumi dan orang asing. Tidak ada Yahudi dan non-yahudi. Kesepuluh orang kusta dengan latar belakang yang berbeda memperoleh belas kasih yang sama yaitu ditahirkan dari penyakit kusta. Kasih Allah yang bersifat inklusif ini mengajak kita untuk mengasihi, tanpa memandang perbedaan. Memang dalam keseharian hidup, standar kita dalam mengasihi sesama itu berbeda-beda. Kasih orangtua kepada anaknya, jauh lebih besar, daripada kasih kepada anak tetangga.
Ini agak berbeda dengan sikap Allah, Dia justru membiarkan Putra Tunggal-Nya menderita, demi menyelamatkan semua manusia. Apakah cara Allah mengasihi kita seperti itu masih kurang? Kalau kita menjawab, bahwa kasih Allah sangat luar biasa, pertanyaan selanjutnya adalah mengapa kita tidak bersyukur?
Kedua, Allah yang berbelas kasih patut dikasihi. Allah patut dikasihi bukan karena Allah miskin akan kasih. Sebab, Allah adalah kasih itu sendiri. Ajakan untuk mengasihi Allah merupakan cara kita berterima kasih kepada Allah yang telah memberikan kasih-Nya, sekaligus ajakan untuk mengangkat kasih kita yang bersifat terbatas kepada kasih Allah yang tidak terbatas. Sekali lagi, tanpa persatuan dengan kasih Allah, kasih kita terkotak-kotak: hanya sebatas dalam rumah, dalam kampung, dalam kantor atau setempat kerja, dalam kelas/sekolah, bahkan dalam agama kita saja. Hanya dalam relasi dengan kasih Allah, seorang asing tetap dicintai; seorang musuh tetap dikasihi.
Pada titik ini, kita mesti mengakui dengan jujur, bahwa kita tidak akan mengasihi dunia sembari membelakangi surga. Kita tidak akan mampu mengasihi sesama sembari membelakangi Allah. Allah patut dikasihi, agar kita mampu mengasihi siapa pun dalam hidup kita.
Maka tidaklah heran jika dalam sepuluh perintah Allah, Allah memerintahkan Anda dan saya untuk mengasihi-Nya lebih dari segala sesuatu. Agar dalam Dia, kita dapat mengasihi segala sesuatu sesuai kehendak-Nya. Sebab kecintaan kita kepada segala sesuatu tanpa menempatkan Allah sebagai tujuan, dapat mengubah cinta menjadi neraka.
Ketiga, Allah dicintai dengan cara tersungkur dan bersyukur. Kata “tersungkur” dalam Kitab Suci selalu dalam relasi Allah sebagai Tuan. Dan segala makhluk sebagai hamba, termasuk malaikat, manusia, dan iblis. Para malaikat yang tersungkur di hadapan Allah dapat kita baca kisahnya dalam Kitab Wahyu. Dalam Kitab Wahyu 7:11 tertulis, “Dan semua malaikat berdiri mengelilingi takhta dan tua-tua dan keempat makhluk itu; mereka tersungkur di hadapan takhta itu dan menyembah Allah.”
Tidak hanya malaikat, para Iblis juga tersungkur tidak berdaya di hadapan Allah. Salah satu kisahnya dapat kita baca dalam Injil Markus 3:11, “Bilamana roh-roh jahat melihat Dia (yaitu Yesus), mereka jatuh tersungkur di hadapan-Nya dan berteriak: “Engkaulah Anak Allah.” Memang tersungkurnya Iblis bukanlah penanda bahwa mereka menyembah Allah, tetapi tanda ketidakberdayaan Iblis di hadapan Allah.
Dalam Injil hari ini, seorang Samaria, orang asing itu, yang telah tahir dari kustanya berkat sabda yang keluar dari mulut Kristus, tersungkur di depan kaki Yesus sang Guru sebagai ungkapan syukur. Adakah kita tersungkur saat bersyukur? Adakah kita menempatkan diri sebagai hamba di hadapan Tuhan ketika Tuhan menjawab doa kita?
Jangan sampai syukur kita hanya sebuah selebrasi, yang menunjukkan kepada orang yang berburuk sangka kita, seperti yang dilakukan oleh kesembilan orang kusta yang lebih mengutamakan menunjukkan diri kepada imam-imam dan sesama, daripada kepada Allah yang membuat mereka sembuh.
Hati-hati, syukur dalam arti yang paling dalam bukan selebrasi, tetapi tersungkur. Tersungkur untuk bersyukur kepada Allah. Mungkin bukan dengan membanggakan diri, tetapi dengan linangan air mata penuh haru, karena Tuhan menoleh kepada Anda dan saya, seraya menjawab doa-doa kita. Tuhan memberkati kita semua