Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan! (Yer. 17: 7)
- Setelah membaca dan merenungkan sabda Tuhan hari ini, terlintas dalam benak saya kalimat-keyakinan ini, “ketenangan/kebahagiaan sejati bukanlah saat badai berhenti, tetapi saat kita tahu Siapa yang ada bersama kita di tengah badai.” Bagi kita orang percaya, yang ada bersama kita setiap saat terutama di tengah badai; saat-saat sulit adalah Tuhan. Lebih dari itu, ini dialami dan dirasakan oleh orang-orang yang sungguh mengandalkan Tuhan dalam hidupnya, bukan mengandalkan dirinya sendiri, kekuatan, pada apa yang ada padanya; kemampuan, kepintaran, uang, harta, kedudukan, dan menjauh dari Tuhan. Sederhananya, mengandalkan Tuhan artinya percaya bahwa ada Tuhan sebagai sumber kekuatan; ada Tuhan saat saya sedang tidak baik-baik saja. Tuhan bersama saya di saat-saat gelap, saat sulit dan menderita, saat badai dan tantangan menghadang.
- Percaya dan mengandalkan Tuhan tidak akan sia-sia. Di dalam bacaan I tadi, kita dengar janji Tuhan melalui nabi Yeremia bahwa, “Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan! Apa yang terjadi dengan orang-orang yang seperti ini? Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan tidak mengalami datangnya panas terik; ia seperti pohon yang daunnya tetap hijau, yang tidak khawatir dalam tahun kering dan yang tidak berhenti menghasilkan buah. Ia bisa bertahan, berharap, dan tetap bahagia di setiap keadaan, dalam situasi apa pun. Sekali lagi, itulah yang terjadi dengan orang-orang yang mengandalkan Tuhan-menomorsatukan Tuhan dalam hidupnya sehari-hari.
- Bahkan sikap percaya dan mengandalkan Tuhan itu terlihat-lebih dirasakan oleh orang-orang yang tampaknya tidak beruntung (dalam kacamata ekonomi/dunia); yang miskin, lapar, menangis, dibenci, dikucilkan, namanya dicela serta ditolak demi nama Yesus, karena iman kepada Yesus. Dalam Injil tadi, Tuhan Yesus menyebut orang-orang seperti ini sebagai “yang berbahagia”; berbahagialah yang miskin, lapar, menangis, dibenci, dicela, dan ditolak. Mengapa? Pertama-tama, karena mereka tidak punya apa-apa dan siapa-siapa lagi selain Tuhan yang mereka imani. Kondisi sulit dan terbatas seperti ini membuat mereka mudah percaya dan semakin dekat dengan Tuhan. Mereka menomorsatukan Tuhan dalam hidupnya dan jika demikian, hal-hal lain akan ditambahkan oleh Tuhan, “carilah dulu kerajaan Allah dan kebenaranNya maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.,” (Mat. 6:33-34).
- Kondisi belum beruntung: miskin, sulit, sedih, sakit, dan menderita tidak terhindarkan dan mungkin kita pernah bahkan selalu alami. Jika hidup ini selalu baik, sehat, berkecukupan, tertawa-tak ada kesulitan, itu bukan lagi hidup, itu namanya mimpi/film/sinetron. Namun, itu semua bukanlah akhir apalagi dilihat sebagai kegagalan-kehancuran. Bukan. Sebaliknya, keadaan-kondisi tersebut merupakan kesempatan untuk bertumbuh; iman dan harapan (saat belajar-sebuah sekolah: sekolah hati-belajar percaya/beriman); saat bagi seseorang (kita) untuk semakin berpegang pada janji-janji Tuhan, bergantung penuh pada-Nya, juga saat Tuhan hadir dan menunjukkan kuasaNya. Toh, Tuhan adalah Bapa yang selalu berbela rasa, yang peka dan peduli. Inilah sumber kekuatan dan kebahagiaan sejati, yang sesungguhnya. Tuhan tidak pernah meninggalkan kita, Ia berjalan-menemani kita setiap saat, di saat-saat sulit-di saat badai menerpa-tantangan menghadap. Tuhan ada di sana.
- Selain itu, menyapa dan menyebut orang-orang yang menderita (fisik-rohani) sebagai yang berbahagia juga menjadi bentuk-wujud kepedulian dan keberpihakan Tuhan dan tentu saja mengajak kita semua untuk memiliki hati dan bersikap yang sama; peka dan peduli dengan sesama yang menderita (jasmani-rohani-rentan). Ada sederetan kata bijak bunyinya, “Ada yang mengukur hidup mereka dari hari dan tahun. Yang lain dengan denyut jantung, gairah, dan ari mata. Tetapi ukuran sejati di bawah mentari(di dalam hidup) adalah apa yang telah engkau lakukandalam hidup ini untuk orang lain, berguna bagi orang lain”. Memberi dan berbagi selalu membahagiakan sekaligus pintu berkat.
- Ketika miskin dan menderita itu diubah oleh Tuhan menjadi sumber kebahagiaan, bukan berarti bahwa menjadi kaya, punya harta, makmur, dan berkecukupan (ekonomi) itu tidak boleh. Bukan. Ini soal bagaimana sikap seseorang (kita) terhadap itu semua. Saat seseorang (saya) melihat harta itu sebagai berkat, rahmat, dan rejeki maka terdorong untuk selalu berterima kasih-bersyukur dan berbagi dengan sesama yang menderita. Sadar bahwa segala yang kita punya adalah pemberian Tuhan mendorong kita untuk mudah mengulurkan tangan-turun membantu sesama. Bukan sebaliknya, di mana harta-hidup berkecukupan, makmur, punya segala-galanya membelokkan atau mengalihkan perhatian kita dari Tuhan dan menjadikan uang, harta, dan kedudukan sebagai “tuhan”, andalan dan kekuatan penggati “karena di mata hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Mat. 6:21). Jika tidak hati-hati, bisa jadi itu semua membuat mata/hati seseorang silau, terhalang untuk melihat Tuhan dan sesama, bahkan harta menjadi sumber konflik, bukan lagi sebagai berkat.
- Singkatnya, bacaan suci hari ini mengajak dan mengingatkan kita untuk selalu mengandalkan Tuhan, menaruh harapan padaNya, dalam segala keadaan dan kondisi, di setiap musim kehidupan kita. Jangan pernah menjauh dari Tuhan. Ini sumber kebahagiaan sejati. Manfaatnya, tidak saja berlaku untuk hidup di atas dunia ini tetapi juga saat kematian menjemput, saat kita meninggakan dunia ini (Bdk. BC II, 1 Kor. 15:19), “Dan jikalau kita berharap pada Kristus hanya dalam hidup ini, maka kita ini orang-orang yang paling malang dari semua manusia”. Percaya dan mengandalkan Tuhan dalam hidup membuat seseorang (kita) ikut dibangkitkan bersama Kristus, memperoleh hidup yang kekal dan berbahagia bersama Tuhan selama-lamanya.
- Mari sejenak bertanya ke diri kita masing-masing, “Apa dan siapakah yang banyak kali kita andalkan (sandaran) dalam hidup kita sehari-hari? Diri sendiri dgn kekuatan, kemampuan, dan kepintaran? Orang lain (manusia)? Harta/Uang/Kekayaan? Posisi, jabatan, status sosial? Atau barangkali ada roh-roh lain (dunia)?”
Saya melihat, kehadiran kita dalam doa dan misa pada hari ini (setiap hari Minggu) membuktikan bahwa kita mengandalkan Tuhan-menaruh harapan padaNya. Namun, tentu tidak berhenti di sini, tidak berhenti di berdoa dan misa. Tanda lain dari mengandalkan Tuhan adalah kesediaan dan kerelaan untuk menolong dan berbagi dengan sesama yang menderita dan membutuhkan pertolongan. Kebahagiaan sejati datang dari sana. Dan yakinlah, itu semua tidak akan sia-sia. Pintu berkat selalu terbuka bagi orang-orang yang setia kepada Tuhan dan selalu mengandalkan Dia.
(Homili ini dibawakan pada Misa ke-3 Hari Minggu Biasa VI di Gereja Paroki Wae Sambi-Labuan Bajo)