Keluarga Nasareth, Pengasuhan dengan Cinta, dan Pemenuhan Hak-hak Dasar Anak.

advanced divider

Renungan Pesta Keluarga Kudus, Minggu 31 Desember 2023.

(Lukas 2:22-40)

 Oleh:

RD Benediktus Gaguk

 

Natal: Allah yang Berinkarnasi Menjadi Manusia.

Natal adalah peristiwa yang berahmat, menyelamatkan dan menebuskan. Inti dari perayaan natal adalah Allah menjadi manusia, Sabda menjadi Daging, Immanuel, Allah yang tinggal di antara kita,. Allah yang Kudus, yang Ilahi, yang transendens, jauh dan tinggi dalam tahktanya yang mulia, turun dan merendahkan diriNya menjadi manusia, masuk dalam kehidupan kita manusia, mengalami suka-duka kehidupan manusia yang penuh suka-duka, hiruk-pikuk dan penderitaan.

Melalui peritiwa Betlehem,Kristusadalah Allah berinkarnasi menjadi manusia. Istilah inkarnasi berasal dari kata Latin “Incarnatio,” yang secara literal berarti masuknya Kristus ke dalam daging manusia. Dan Inkarnasi adalah bentuk pengosongan diri Kristus. Pengosongan diri ini, dalam bahasa Yunani disebut kenosis, yang diambil dari Filipi 2:7, yang berarti mengosongkan.”Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” ( Bdk Fil 2:7)

Ketika Kristus menjadi manusia, di saat yang sama Dia juga adalah Allah. Dengan demikian, kenosis atau tindakan mengosongkan diri yang dimaksud di dalam Filipi 2:7, merupakan sebuah bentuk keteladanan tentang kerendahan hati yang Kristus berikan. Keteladanan tentang kerendahan hati yang ditunjukkan oleh Kristus adalah bahwa Dia tidak menganggap kesetaraan dengan Bapa sebagai sesuatu yang perlu untuk dipertahankan, melainkan Dia mengosongkan diri-Nya. Kristus mengosongkan diri-Nya dengan mengambil rupa hamba dan menjadi manusia sehingga dengan jalan tersebut Dia dapat menggantikan kita untuk menjalani penghukuman yang seharusnya kita terima akibat dosa. Kristus melakukan ini semua dengan sebuah tujuan yaitu agar kita dapat diselamatkan.

Keluarga: Tempat pertama kita untuk belajar mengasihi.

Peristiwa Inkarnasi “lahir dari dan karena” kasih Allah yang tak berkesudahan bagi umatNya. Sekallipun Kasih Allah kadang “dikhianati dan terkesan bertepuk sebelah tangan”, sebagaimana terpampang dalam sejarah bangsa Israel,  Allah tetap setia. Karakter Allah yang adalah kasih, tidak sedikitpun “tercoreng”, “tergores” atau “terkikis” oleh sikap dan jawaban manusia atas cintaNya. Allah adalah kasih, dan kasih adalah Allah itu sendiri, sebagaimana ditulis oleh oleh Rasul Yohanes: “Sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih. (1Yohanes 4:7-8). Karena itu, meskipun umat Israel “tegar-tengkuk” di hadapan Allah, Kasih Tuhan “pantang mundur” untuk terus-menerus menghadikan rahmat penebusan dan keselamatan. Dan Yesus, yang lahir di kandang hina, adalah wujud sempurna kasih itu. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia sehingga Ia mengaruniakan putraNya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepadaNya, akan memperoleh hidup yang kekal:

Keluarga, menurut dokumen Familiaris Consortio adalah adalah komunitas kasih dan persekutuan kehidupan, yang memiliki tugas memupuk, mengungkapkan, dan menyebarkan cinta. Kasih itu diwujudkan kepada diri sendiri dan orang lain, baik kepada keluarga, dan juga kepada masyarakat disekitarnya (FC17).

Secara khusus, Paus Fransiskus, dalam perayaan Ekaristi pertemuan Keluarga se Dunia ke 10, menyampaikan, keluarga sebagai “the place where we learn to love”: Keluarga adalah tempat pertama kita untuk belajar mencintai,” Mengutip Paulus, dalam suratnya kepada Jemaat di Galatia, Fransiksus mengajak keluarga katolik, tidak menggunakan kemerdekaan sebagai anak Allah menjadikesmpatan untuk hidup dalam dosa, melainkan melayani seorang akan yang lain dengan kasih. (Gal 5:13). Dan itu, harus dimulai dari keluarga.

“Anda menjadi pelayan untuk saling melayani satu sama lain. Tidak ada planet atau satelit yang bergerak masing – masing. Begitu juga keluarga adalah tempat perjumpaan dan berbagi,” pesan Paus.

Keluarga Kudus dan Pengasuhan dengan Cinta.

Keluarga Kudus, dalam Lukas 2:22-40, menunjukkan bagaimana kasih itu dihidupi, bertumbuh dan berbuah dalam keluarga. Kasih yang sejati, yang autentik berakar dalam Allah sendiri. Karena itu, pada hari pentahiran menurut hukum Taurat, Yoesf dan Maria membawa kanak-kanak Yesus ke Bait Allah, untuk mempersembahkan Dia kepada Tuhan. Penyerahan sang Anak kepada Tuhan adalah juga simbol pemberian diri keluarga kepada Tuhan, agar mereka disertai, dibimbing dalam mendidik dan memlihara Yesus, sebagai persiapan untuk menjalankan misi PerutusanNya, sekaligus dikuatkan dalam menghadapi peristiwa sulit dalam hidup, seperti pengalaman” pedang yang akan menembus jiwa Maria, sebagaimana  yang diramalkan Simeon, yang adalah jalan penderitaan yang akan dialami oleh sang Putra. Sampai di sini, betapa keluarga-keluarga pun diajak untuk menjadikan doa sdan kehidupan rohani menjadi fondasi dan penopang utama kehidupannya. Berdoa, agar dimampukan untuk menjalani kehidupan keluarga ditengah pelbagai tantangan, hambatan, tawaran, dan kerumitan-kepelikan dewasa ini. Berdoa, bukan untuk meniadakan semua persoalan-persoalan, tetapi untuk dikuatkan, dan tetap setia sampai akhir. Karena keluarga dipanggil terutama bukan untuk sukses, tetapi untuk setia.

Mengasuh anak dengan Cinta, bagi Yusuf dan Maria, tidak saja menyentuh aspek rohani-spiritual. Ketika pulang kembali ke Nasareth, kota kediamannya, ke rumahnya, mereka tidak saja mendidik dan mendampingi Yesus kecil untuk menjadi pribadi yang “penuh hikmat” dan “dipenuhi kasih karunia Allah”, tetapi juga mengasuhnya secara fisik, sehingga “ia bertambah besar dan kuat. Hal ini terjadi, tentu karena Maria dan Yosef memberikan “asupan gizi” yang cukup bagi Yesus kecil.

Adakah keluarga-keluarga kita juga memperhatikan ketercukupan gizi bagi anak-anak kita, ataukah banyak anak terabaikan, yang menyebabkan mereka menjadi ‘Stunting?

 

Keluarga Kudus dan Pemenuhan Hak-Hak Dasar Anak.

Melalui pengasuhan kepada Yesus Kecil, Keluarga Kudus Nazateh memberikan teladan bagi kita berupaya untuk memenuhi Hak-Hak Dasar Anak. Melalui pencatatan jiwa yang diikuti oleh Orang tuanya di Betlehem, pentahiran di Bait Allah sebagaimana ditentukan oleh Hukum Taurat, Yosef dan Maria memenuni “Hak Sipil” dari anaknya. Dengan memberikan “asupan gizi yang cukup, sehingga Yesus kecil “bertambah besar dan kuat”, pasangan muda ini memenuhi “Hak Hidup dan Tumbuh-Kembang” anaknya.Mengungsi ke Mesir untuk melindungi Yesus Kecil dari ancaman pembunuhan oleh Herodes adalah pemenuhan Hak atas perlindungan(Bdk Mat 2:13-18). Dan, “Hak Berpartisipasi” Yesus kecilterpenuhi, ketika Iadiajak bersama-sama berziarah ke Yerusalem, berpartisipasi pada perayaan paskah Yahudi, dan di sana ia juga  mendapatkan kesempatan  “bercakap-cakap” dan “berdiskusi” dengan para pemuka Agama di Bait Allah.(Bdk Lukas 2:41-52)

Semoga keluarga kita pun bertumbuh dalam kasih, mengembangkan pola pengasuhan dengan cinta, dengan mengupayakan pemenuhan Hak-Hak Dasar anak-anak kita.*

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait